Selasa, 18 Februari 2014

Materi saya



Pendidikan Gratis di tinggak regional
Hal-hal perubahan kemajuan pendidikan di Indonesia Era Jokowi mengingat Duit APBN dan APBD yang berlimpah ruah sebagai berikut ini (asyik hidup penuh hayalan, buah dari keputus asaan) :
  1. Sistem pendidikannya yang gratis sejak TK hingga tingkat Universitas.
  2. Setiap anak diwajibkan mempelajari bahasa Inggris (bahasa International adalah wajib) serta wajib membaca satu buku setiap minggu.
  3. Wajib belajar diterapkan kepada setiap anak sejak umur 7 tahun hingga 14 tahun.
  4. Selama masa pendidikan berlangsung, guru mendampingi proses belajar setiap siswa, khususnya mendampingi para siswa yang agak lamban atau lemah dalam hal belajar. Malah terhadap siswa yang lemah, sekolah menyiapkan guru bantu untuk mendampingi siswa tersebut serta kepada mereka diberikan les privat.
  5. Setiap guru wajib membuat evaluasi mengenai perkembangan belajar dari setiap siswa.
  6. Ada perhatian yang khusus terhadap siswa-siswa pada tahap sekolah dasar, karena bagi mereka, menyelesaikan atau mengatasi masalah belajar bagi anak umur sekitar 7 tahun adalah jauh lebih mudah daripada siswa yang telah berumur 14 tahun.
  7. Orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, meskipun perbedaan mutu antar-sekolah amat sangat kecil.
  8. Semua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan oleh negara.
  9. Negara membayar biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa (Rp. 2.560.600.000,- (1 euro = 12.803 rp)) untuk dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas.
  10. Baik miskin maupun kaya semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua ditanggung oleh Negara.
  11. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
  12. Makan-minum di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya ditangani oleh pemerintah.
  13. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari tingkat nasional.
  14. Mengenai para prospek karier dan kesejahteraan, setiap guru menerima gaji rata-rata 3400 euro per bulan setara 42 juta rupiah. Guru disiapkan bukan saja untuk menjadi seorang profesor atau pengajar, melainkan disiapkan juga khususnya untuk menjadi seorang ahli pendidikan. Makanya, untuk menjadi guru pada sekolah dasar atau TK saja, guru itu harus memiliki tingkat pendidikan universitas.
Gambaran umum pendidikan di Era Jokowi yang GRATIS dari TK s.d Universitas (kira2) sebagai berikut :
Sekolah Dasar
Pendidikan wajib di Indonesia dimulai dari usia 7 tahun dengan sekolah dasar. Siswa naik dari kelas 1 sampai 6 tanpa ujian, meskipun kemampuan mereka diuji di usia 10 tahun. Penekanan ada pada belajar secara praktikal dibandingkan menghafal. Siswa belajar mata pelajaran inti seperti Indonesia, matematika dan sains, juga pelajaran dasar seperti sejarah, geografi, musik, seni dan olahraga.
Sekolah Menengah Pertama
Siswa memulai sekolah menengah pada usia 13 tahun, dimana menjadi kewajiban untuk lima tahun berikutnya. Di setiap jenjangnya, siswa memperdalam pengetahuan mereka pada mata pelajaran inti dan ditambah setidaknya 1 bahasa asing. Di tahun ke-4, mereka mulai bersiap untuk mengikuti ujian-ujian yang disebut General Certificate of Secondary Education atau GCSE. Siswa akan diuji di 9 atau 10 topik GCSE yang mereka pilih.
Sekolah Menengah Atas
Setelah menyelesaikan ujian GCSE, siswa sekolah menengah dapat meninggalkan sekolah untuk bekerja, mengikuti program training di sekolah kejuruan atau teknik, atau melanjutkan 2 tahun lagi untuk menyiapkan diri bagi ujian masuk universitas, yang dikenal dengan “A-Levels.” Secara umum, siswa yang ingin masuk ke universitas akan belajar 3-4 subyek untuk ujian A-Levels. Ini kerap dilakukan di sekolah yang dinamakan Sixth Form Colleges. Makin tinggi nilai ujian A-Levels, makin baik peluang siswa untuk masuk ke universitas pilihannya.
Program Sarjana
Ditingkat sarjana, siswa di Indonesia dapat memilih jurusan “art” dan “sciences”. Program biasanya berlangsung selama tiga tahun dimana selama itu siswa menyelesaikan pelajaran dan tutorial di bidang masing-masing. Siswa yang akan lulus biasanya harus mengikuti ujian akhir. Syarat penerimaan bagi siswa internasional termasuk kefasihan bahasa Inggris (min IELTS 6.0), tambahan 1 tahun sekolah menengah, dikenal dengan University Foundation Year atau nilai A-Level.
Pasca Sarjana atau PhD
Pelajaran universitas dapat diteruskan ke tingkat pasca sarjana. Gelas pasca sarjana tradisional biasanya dibidang “Arts” (MA) atau “Sciences” (MSc). Gelar pasca sarjana yang makin populer adalah Masters in Business Administraion (MBA). Program Master berlangsung selama satu sampai dua tahun dan mengharuskan ujian dan tesis untuk syarat kelulusan. Bagi program tertentu, pengalaman dibidang riset dan bekerja dibutuhkan untuk mengikuti program doktoral, atau PhD, yang dapat berlangsung selama empat atau lima tahun di sekolah dan riset serta disertasi.
Nah itulah di Indonesia Era Jokowi. Kalau dibandingkan dengan sistem di Indonesia saat ini (sekilas perbandingan lho… biar melek) :
  1. Pendidikan di Indonesia di penuhi dengan test evaluasi seperti ulangan harian, ulangan blok, ulangan mid-semester, ulangan umum / kenaikan kelas, dan ujian nasional. Era Jokowi menganut kebijakan mengurangi tes jadi sesedikit mungkin. Tak ada ujian nasional sampai siswa yang menyelesaikan pendidikan SMA mengikuti matriculation examination untuk masuk PT.
  2. KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) menyebabkan siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial dan masih ada tinggal kelas. Sebaliknya, Era Jokowi menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas.
  3. Pemberian tugas Pekerjaan Rumah (PR) di sekolah Indonesia dianggap penting untuk mendisiplikan siswa rajin belajar. Sebaliknya, di Era Jokowi , PR masih bisa ditolerir tapi maksimum hanya menyita waktu setengah jam waktu anak belajar di rumah.
  4. Kualifikasi guru SD Indonesia masih mengejar setara dengan S1, di Era Jokowi semua guru tamatan S2.
  5. Indonesia masih menerima calon guru yang lulus dengan nilai pas-pasan, sedangkan di Era Jokowi the best ten lulusan universitas yang diterima menjadi guru.
  6. Indonesi masih sibuk memaksa guru membuat silabus dan RPP mengikuti model dari Pusat dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE (Buku Sekolah Elektronik), di Era Jokowi para guru bebas memilih bentuk atau model persiapan mengajar dan memilih metode serta buku pelajaran sesuai dengan pertimbangannya.
  7. Jarang sekali guru di Indonesia yang menciptakan suasana proses belajar-mengajar itu menyenangkan (learning is fun) melalui penerapan belajar aktif. Bahkan lebih didominasi metode belajar mengajar satu arah seperti ceramah yang membosankan.Di Era Jokowi terbanyak guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan melalui implementasi belajar aktif dan para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Motivasi intrinsik siswa adalah kata kunci keberhasilan dalam belajar.
  8. Di Indonesia dikembangkan pengkatasan kelas yaitu klasifikasi kualitas kelas dalam kelas reguler dan kelas anak pintar, kelas anak lamban berbahasa Indonesia dan kelas bilingual (bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar) dan membuat pengkastaan sekolah (sekolah berstandar nasional, sekolah nasional plus, sekolah berstandar internasional, sekolah negeri yang dianakemaskan dan sekolah swasta yang dianaktirikan). Sebaliknya di Era Jokowi, tidak ada pengkotakan siswa dan pengkastaan sekolah. Sekolah swasta mendapatkan besaran dana yang sama dengan sekolah negeri.
  9. Era Jokowi pelajaran bahasa Inggris mulai diajarkan dari kelas III SD. Alasan kebijakan ini adalah memenangkan persaingan ekonomi di Eropa, membuka kesempatan kerja lebih luas bagi lulusan, mengembangkan wawasan menghargai keanekaragaman kultural.
  10. Jumlah hari Sekolah di Indonesia terlalu lama yaitu 220 hari dalam setahun (termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi di dunia). Sebaliknya, siswa-siswa Era Jokowi ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia. Saat ini Kita masih menganut pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, era Jokowi malah berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar. Bahkan saat sekarang terkadang para guru masih memberikan tugas sekolah selama masa liburan sehingga sekolah merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan. (dahsyat)
(merem melek merem melek dahi pun berkedut…oh Indonesiaku)
*** Terimakasih – dari berbagai sumber inspirasi bacaan - ambil yang baik, yang tak sesuai dibuang saja… /*sr7*
13733528491900661797
Tiga Kabupaten Belum Optimal Dukung Pendidikan Gratis
Minggu, 10 Juni 2012 | 23:57 WIB
MAKASSAR, KOMPAS.com - Tiga kabupaten dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dinilai belum optimal mendukung program pendidikan gratis yang dicanangkan Pemprov Sulsel.
"Tiga kabupaten yang dinilai belum berkomitmen sepenuhnya menyiapkan porsi anggaran program pendidikan gratis SMA adalah Kabupaten Bone, Jeneponto dan Maros," kata Kepala Dinas Pendidikan Sulsel H Patabai Pabokori di Makassar, Minggu (10/6/2012).
Ia mengatakan sesuai dengan kesepakatan saat pencanangan program pendidikan gratis di Sulsel pada 2008, pembiayaan itu bersumber dari dana APBD Sulsel 40 persen dan APBD kabupaten/kota 60 persen.
Namun realisasi di lapangan, ketiga kabupaten itu belum sepenuhnya melaksanakan dukungan anggaran untuk program pendidikan gratis di daerah ini.
"Jadi, meskipun ketiga kabupaten itu sudah mengalokasikan anggaran pendidikan, namun belum 100 persen konsisten melakukan sesuai nota kesepahaman yang telah ditandatangani," katanya.
Sementara di kabupaten/kota lainnya seperti Luwu Utara, Luwu, Palopo dan Luwu Timur sudah memenuhi komitmen dengan menyalurkan anggaran pendidikan sesuai kesepakatan.
Program pendidikan gratis di Sulsel telah berjalan kurang lebih lima tahun dan dana APBD Sulsel yang telah dikucurkan tercatat Rp500 miliar lebih.
Dana sektor pendidikan tersebut ditujukan untuk mendukung program pendidikan gratis di tingkat SD - SMP. Sementara untuk program SMA baru pada tahap dukungan pengadaan buku penunjang Ujian Nasional yang dilaksanakan sejak 2010.
Remisi Untuk Koruptor
Pemberian remisi alias pengurangan masa pemidanaan koruptor, tampaknya, kurang sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan keluarnya daftar penerima remisi bagi napi kasus korupsi sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012.
KPK meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut dengan tetap memperketat pemberian remisi. Kalau perlu, meniadakan pengurangan hukuman bagi narapidana extraordinary crime.
PP 99/2012 merupakan dasar pengurangan masa pemidanaan bagi koruptor. Pada 2012 sebanyak 582 koruptor menerima pengampunan. Pada Lebaran tahun ini penerima remisi khusus tersebut menyusut menjadi 182 narapidana. Penerima makin sedikit karena syarat mendapat remisi lebih sulit.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, yang jadi masalah bukan berkurangnya jumlah koruptor penerima remisi. Tetapi, ada persoalan sangat mendasar yang perlu menjadi pertimbangan. ''Yakni, apakah (koruptor) perlu diberi remisi?'' tanya pria yang akrab disapa BW itu saat dihubungi Jawa Pos kemarin (9/8).
Menurut dia, harus ada pemahaman yang utuh soal pemberian remisi dan kategori extraordinary crime. Termasuk ketegasan sikap dan tujuan pemidanaan dalam kaitannya dengan penempatan kualifikasi kejahatan dan makna substantif hukuman.
Bagi BW, pemerintah seharusnya bisa lebih tegas karena dampak korupsi sangat dahsyat. ''Dengan dasar kebijakan politik penghukuman yang 'zero tolerance' terhadap pelaku tindak pidana korupsi, pemerintah harusnya bisa menunda, mengesampingkan, atau meniadakan remisi,'' tegasnya.
Dia menilai para koruptor tidak layak mendapat remisi karena dampak kejahatannya sangat serius.
Jubir KPK Johan Budi S.P. menambahkan, pengetatan terhadap remisi memang diperlukan. Tidak seharusnya para koruptor bisa begitu saja mendapat remisi. Saat diskusi di Kemenkum HAM beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa dampak korupsi hanya satu level di bawah genosida.
Menkum HAM Amir Syamsuddin menegaskan, pemberian remisi itu sudah sesuai dengan aturan. Termasuk syarat-syarat agar penerima harus menjadi justice collaborator terlebih dahulu. Namun, tentu saja itu tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tunggal.
Di satu sisi, Amir memahami adanya aspirasi masyarakat yang anti terhadap remisi pada koruptor atau narapidana extraordinary crime. Pemerintah juga tidak tuli dan menganggap angin lalu soal teriakan penggiat antiremisi.
"Ada semangat untuk membatasi atau pengetatan. Itu sudah dicoba dengan lahirnya PP 99/2012," jelasnya. Namun, kalau masih belum puas, masyarakat bisa mendorong pihak berwenang untuk melahirkan undang-undang. Dia sadar betul PP ada dibawah UU dan rentan diuji materi ke MA.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai pemberian remisi itu dinilai tak tepat. Utamanya remisi diberikan kepada pejabat atau penyelenggara negara yang telah mengeruk keuangan negara dan membuat rakyat sengsara.

"Remisi untuk koruptor seharusnya perlu dilihat dengan cara pandang yang ada sisi bedanya dibanding degan pidana umum. Apabila pemerintah bersedia lebih membuka mindsetnya degan melihat bahwa koruptor adalah jenis pejabat/penyelenggara negara termasuk penegak hukum didalamnya yang telah merugikan rakyat dan negara secara ekonomis tetap juga memperparah jumlah kandidat koruptor yang menurut kajian KPK sudah sampai derajat 'subversif'," tegas Busyro, Jumat (9/8/2013).

Busyro mengatakan, pemerintah seharusnya 'melotot' dalam memberikan remisi untuk napi korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai sebagai pihak yang berandil juga harus menetukan sikap tegas mengenai hal tersebut.

"Maka tidak ada lagi ruang nalar dan nurani yang bisa ditoleransikan kepada bromocorah kriminalis pemiskin rakyat itu. Soalnya sekarang, pemerintah jelas saja. Pro rakyat dan masa depan birokrasi negara yang harus diselamatkan atau masih toleransi degan koruptor itu. Presiden perlu tegaskan lebih terbuka ketika rakyat semakin kritis," ketusnya.

Dia menegaskan, tidak ada efek positifpemberian remisi terhadap koruptor. Hal ini karena koruptor adalah jenis manusia predator kepada rakyat. "Melihat budaya hedon dan konsumerisme sekarang, kita prihatin koruptor mengalami regenerasi.
Menurut Busyro, remisi adalah wujud tidak pekanya pemerintah atas realitas tersebut. Dia menyarankan, bahwa sudah saatnya koruptor diberi tambahan sanksi sosial seperti mempermalukan secara sosial. "Bersihin got-got (saluran pembuangan air) dengan seragam tahanan," ujarnya. [mvi]
Koran Tempo, 8 September 2011
Seakan tak mendengar kritikan publik, pemerintah kembali mengobral remisi (potongan masa tahanan) bagi koruptor. Tercatat, ada 235 koruptor yang menikmati remisi pada hari Lebaran kemaren, 8 diantaranya langsung bebas. Sebelumnya, ditengah hingar bingar slogan merdeka dari korupsi pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66, pemerintah juga memberikan remisi terhadap koruptor. Sebanyak 419 koruptor menikmati remisi tersebut, bahkan 21 diantaranya langsung bebas.
Termasuk yang menikmati remisi tahun ini adalah mantan Jaksa, Urip Tri Gunawan. Sebelumnya disebut-sebut Gayus Tambunan juga akan mendapatkan remisi, tapi akhirnya dibatalkan. Diberbagai daerah, remisi diobral ke mantan Kepala Daerah dan elit politik daerah yang terlibat korupsi, seperti mantan Bupati Sleman dan mantan Bupati Kutai Kertanegara.
Kebijakan remisi tersebut semakin membuat publik ragu akan niat pemerintah untuk membumihanguskan koruptor. Bagaimana tidak, disatu sisi Presiden SBY selalu berpidato akan memimpin pemberantasan korupsi dan bertindak tegas terhadap koruptor. Sementara disisi lain, Menteri Hukum dan HAM, selalu mengobral remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Bagi rakyat banyak, kebijakan tersebut jelas melukai rasa keadilan.
Alasan yang selalu digunakan pemerintah untuk pemberian remisi ini sangatlah naif. Pemerintah selalu bersembunyi dibalik aturan hukum positif. Bahwa peraturan perundang-undanan tidak melarang pemberian remisi bagi koruptor. Memang benar bahwa UU mengizinkan pemberian remisi bagi narapidana sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU ini menyebutkan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Teknisnya, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
Secara umum, remisi tersebut diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal selama enam bulan. Namun, terkhusus bagi terpidana korupsi, berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Walaupun dibenarkan, pertanyaannya adalah apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak! Tidak ada kewajiban bagi pemerintah memberikan remisi bagi koruptor. Malah sebaliknya, Koruptor harusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal biasa. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime), bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu saja. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Sehingga, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah dengan menghapus remisi bagi koruptor.
Koruptor harusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya dimiskinkan. Dan kalau perlu diberi sanksi sosial.
Memang penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan termasuk mendapat remisi. Menghukum seseorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga menjadi pelajaran bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Mafia Remisi
Selain melukai rasa keadilan masyarakat, pemberian remisi juga rentan dipermainkan oleh mafia hukum. Pemberian remisi memang hak pemerintah. Tapi apakah ada jaminan bahwa pemberian remisi tidak akan disalahgunakan? Siapa yang bisa mengontrol pemberian remisi itu? Kita khawatir diskresi pemerintah yang tidak terkontrol dalam pemberian remisi ini rentan disalahgunakan. Fasilitas remisi ini potensial dijadikan ”proyek” oleh aparat pemerintah dan para mafia hukum.
Mudahnya koruptor mendapatkan remisi merupakan indikasi awal. Dugaan tersebut diperkuat dengan maraknya praktik suap di penjara. Sebagaimana modus mafia penjara yang terungkap selama ini bahwa ada praktik suap-menyuap antara terpidana dengan petugas penjara, misal kasus suap Gayus Tambunan ke petugas rumah tahanan Mako Brimob, kasus sel mewah Artalyta Suryani dan ’joki’ narapidana Kasiyem di Bojonegoro. Selain itu, berbagai keanehan dalam pemberian remisi selama ini menunjukkan bahwa ada yang bermasalah dalam kebijakan tersebut.
Protes publik dan rentannya praktik mafia hukum dalam pemberian remisi ini, mestinya mampu membuat Menteri Hukum dan HAM menahan diri untuk tidak memberikan remisi untuk koruptor. Jika tidak, maka sulit rasanya untuk menyatakan bahwa pemerintah serius mendukung upaya pemberantasan korupsi. Komitmen politik pemerintah akan dipertanyakan.
Fakta pemberian remisi untuk koruptor memberi penjelasan kepada rakyat bahwa perang melawan korupsi tidak didukung oleh kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh. Kemauan politik yang ambivalen itu, membuat sistem hukum kita pun menjadi sangat kompromistis terhadap koruptor. Sudah mendapat hukum ringan, para koruptor pun diberi hak mendapatkan diskon hukuman bernama remisi itu.
Sebagaimana diberitakan bahwa 341 koruptor mendapat remisi dalam rangka peringatan HUT Ke-65 Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya besan Presiden SBY, yang mendapatkan remisi tiga bulan. Bahkan, sebelas di antaranya langsung menghirup udara bebas. Sebuah kebijakan yang dinilai banyak pihak sangat kontroversial di tengah usaha memberantas dan memberikan efek jera kepada koruptor yang telah merugikan negara.
Dasar Hukum
Pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan dalam hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Teknisnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Secara umum, remisi diberikan berdasar dua syarat. Yakni, berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Ketentuan ini sebenarnya telah memperketat pemberian remisi bagi koruptor. Jika sebelumnya, menurut PP 32/1999, remisi dapat diberikan setelah menjalani enam bulan masa hukuman saja, sekarang para koruptor harus menjalani sepertiga masa hukuman jika hendak mendapatkan remisi.
Namun, inti persoalan remisi bagi koruptor bukanlah masalah ketatnya persyaratan. Tapi, substansinya lebih kepada eksistensi kebijakan tersebut. Dengan demikian, pertanyaanya adalah apakah remisi bagi koruptor perlu ada? Jika secara hukum remisi dapat diberikan kepada koruptor, apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak perlu.
Koruptor seharusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Karena itu, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.
Koruptor seharusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapat remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi, selama ini pengadilan selalu memberikan hukuman yang ringan bagi koruptor. Dengan menerima remisi, koruptor tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali.
Oleh karena itu, penghapusan remisi bagi koruptor merupakan keputusan yang layak diterapkan. Alasan berkelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi, biasanya motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk mengejar remisi.
Presiden Harus Batalkan
Komitmen antikorupsi yang baru saja diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPR dan DPD, tidak berarti apa-apa jika koruptor masih menikmati hak-hak istimewa. Dalam pidatonya presiden bahkan menjadikan korupsi sebagai musuh utama dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa sekarang ini. Pidato tersebut akan kehilangan makna jika presiden tidak mengambil langkah nyata untuk mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi.
Pemberian remisi jelas merupakan tamparan keras terhadap pidato presiden tersebut. Pesan presiden untuk tidak menoleransi tindakan korupsi tampaknya tidak ditangkap oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Sehari setelah pidato presiden, Menteri Hukum dan HAM justru dengan mudahnya memberikan keringanan hukuman bagi koruptor. Tindakan ini jelas telah melecehkan presiden.
Oleh karena itu, presiden sebaiknya segera membatalkan keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut. Presiden harus menunjukkan konsistensi komitmen antikorupsinya sebagaimana dituangkannya dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Jika remisi tetap diberikan, berarti presiden mengingkari komitmennya sendiri dan menganggap korupsi sebagai kejahatan yang biasa-biasa saja. Dan, itu tentu sangat melukai hati nurani dan rasa keadilan rakyat. (*)
Pro Kontra Remisi Koruptor dan Teroris
Di tengah upaya pemerintah (kepolisian) mengungkap jaringan teroris di Indonesia setelah melakukan penyergapan di Temanggung dan kemudian merilis (19/08/2009) empat tersangka baru pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton yaitu Syaifuddin Zuhri, Mohamad Syahrir, Ario Sodarso dan Bagus Budi Pranoto.

Pemerintah melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM pada tanggal 17 Agustus 2009 justru mengeluarkan kebijakan remisi (pengurangan masa hukuman) bagi terpidana kasus terorisme, kebijakan yang sama juga diberikan kepada terpidana kasus korupsi, padahal upaya untuk memberantas dan memberikan efek jera kepada koruptor yang sangat merugikan negara sangat gencar dilakukan diberbagai daerah.

Pemberian remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Apakah sudah tepat kebijakan remisi bagi narapidana teroris? Apalagi rilis empat tersangka pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton oleh Kepolisian salah seorang diantaranya sudah pernah dihukum atas kasus terorisme alias orang lama. Kekhawatiran tentu muncul ketika Dirjen Pemasyarakatan DepKum dan HAM memberikan remisi bagi 7 (tujuh) orang narapidana kasus terorisme sehingga bertolak belakang dengan semangat pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pendapat yang sama juga diutarakan bagi terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi pada Hari Kemerdekaan kemarin, diantaranya Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai pemberian remisi khususnya bagi terpidana kasus korupsi justru bertentangan dengan gerakan pemerintah memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, pemberantasan korupsi yang dilakukan secara luar biasa hendaknya efek jera yang diberikan kepada narapidananya pun harus secara luar biasa.

Dasar Hukum
Jika merujuk pada dasar hukum pemberian remisi yaitu Undang-Undangan No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan tidak ada yang salah dengan pemberian remisi kepada narapidana kasus teroris dan terorisme pada Hari Ulang Tahun Ke-64 Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 14 UU Pemasyarakatan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), dalam dalam PP No.28 Tahun 2006 sebagai aturan pelaksana ketentuan UU Pemasyarakatan diatur mengenai syarat khusus pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.

Jika melihat semangat dan keinginan untuk memberikan efek jera bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi, PP No.28 Tahun 2006 tersebut sudah dianggap lebih baik dari PP sebelumnya yang mengatur syarat pemberian remisi bagi seluruh terpidana adalah setelah menjalani masa hukuman selama 6 (enam) bulan termasuk terpidana kasus terorisme dan korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut juga mengatur bahwa pemberian remisi tidak berlaku bagi narapidana yang mendapatkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

Kekhawatiran publik atas pemberian remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi masih ada benarnya, selain karena syarat pemberian remisi tersebut dapat saja dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan, kemudian mendapat remisi dan setelah menikmati kebebasan mengulangi kejahatan yang sama juga dikarenakan penjatuhan sanksi pidana (pemidanaan) bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi belum menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Ungkapan ini ternyata tak berlebihan, dalam kasus terorisme misalnya jika melihat salah satu dari empat tersangka pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton yang dirilis kepolisian (19/08/09) yaitu Bagus Budi Pranoto alias Urwah dikenal sebagai mantan terpidana kasus terorisme karena terbukti ikut membantu menyembunyikan Azahari dan Noordin M Top dalam kasus peledakan di Hotel JW Marriott tahun 2003, memang Bagus Budi Pranoto tidak mendapat remisi namun jika diberikan remisi kepada terpidana kasus terorisme justru menimbulkan resiko teror bom yang lebih besar lagi.

Dalam kasus korupsi lain lagi, efek jera pemidanaan bagi terpidana kasus korupsi dirasakan masih belum efektif, selain karena mendominasinya hukuman yang  ringan diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi sehingga dengan menerima remisi terpidana korupsi tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali, juga kecenderungan bebasnya terdakwa kasus korupsi di Pengadilan Negeri. Data ICW melansir bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir ada 1.643 terdakwa kasus korupsi yang diseret ke pengadilan  812 terdakwa diantaranya divonis bebas artinya 50,57% terdakwa korupsi divonis bebas.

Pemasyarakatan
Remisi merupakan hak bagi setiap narapidana yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), menghilangkannya justru  telah merusak tatanan sistem peradilan pidana Indonesia didalam KUHAP mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai pada lembaga pemasyarakatan. Karena remisi merupakan hak yang timbul ketika narapidana berada dalam lembaga pemasyarakatan.

Kebijakan untuk menghapus remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi bukanlah  solusi yang tepat untuk memberikan efek jera kepada terpidana dan khalayak ramai untuk tidak melakukan kejahatan serupa.

Menurut hemat penulis, kebijakan pemberian remisi kepada narapidana kasus terorisme dan korupsi-lah yang harus ditinjau dan dipertimbangkan secara mendalam oleh Menteri Hukum dan HAM. Pertama, pertimbangan rekomendasi pemberian remisi harus lebih diperketat, tidak haya berasal dari Dirjen Pemasyarakatan DepKum dan HAM tetapi juga mempertimbangkan rasa keamanan dan ketertiban umum serta rasa keadilan masyarakat. Kedua, melalui revisi UU Pemasyarakatan dan PP No.28 Tahun 2006 terutama menyangkut syarat khusus pemberian remisi bagi narapidana kasus teorisme dan korupsi. 

PRO KONTRA PENGHAPUSAN REMISI UNTUK TAHANAN KORUPTOR, TERORIS dan NARKOBA.....?

Kamis, 15/09/2011 19:19 WIB
Presiden SBY Setuju Remisi Bagi Koruptor Dihapus
Gagah Wijoseno - detikNews:
"Presiden menegaskan kembali persetujuannya untuk menguatkan pesan penjeraan kepada para pelaku kejahatan terorganisir, khususnya korupsi dan terorisme. Untuk itu pengurangan hukuman atau remisi kepada para koruptor dan teroris disetujui untuk dihentikan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN, Denny Indrayana dalam siaran pers, Kamis (15/9/2011).

KPK Setuju Moratorium Remisi untuk Koruptor
Polhukam / Jumat, 16 September 2011 07:03 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi wacana moratorium remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu diutarakan Ketua KPK Busyro Muqoddas melalui pesan singkat, di Jakarta, Kamis (15/9).
"Kami menyampaikan apresiasi kepada Presiden. Kami juga meminta agar pengajuan draf revisi UU Remisi supaya disegerakan," tutur Busyro.

MA Tolak Penghapusan Remisi untuk Koruptor
http://news.okezone.com, Selasa, 27 September 2011 14:46 wib
JAKARTA- Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa menilai, penghapusan remisi terhadap terpidana kasus korupsi, narkoba, atau teroris tidak tepat. Pasalnya, setiap terpidana berhak mendapatkan remisi.

diatas adalah kutipan berita2 tentang pro kontra atas penghapusan remisi bagi tahanan kasus koruptor, teroris dan narkoba. Saya bingung, apakah keinginan Pemerintah itu salah? sehingga ada yang tidak setuju? Adalagi perdebatan di Stasiun tivi swasta dalam acara yg dihadiri lawyers, menteri negara, profesor dan wartawan, pada saat seorang lawyer bertanya "Siapa yang setuju remisi untuk tahanan koruptor dihapuskan?" ternyata tidak ada yg mengacungkan tangan (mungkin ada tapi saya tidak melihatnya di layar tv saya) dan kemudian beliau berkata lagi"Kalau ada lawyer yang setuju remisi untuk tahanan koruptor dihapuskan, buka toga kalian" (kurang lebih begitu).

Saya sebagai orang awam jadi bingung. Kalau seperti itu kondisinya.. MAU DIBAWA KEMANA NEGARA INI??????
Nah...Kalo Anda bagaimana? Pro atau kontra? alasannya?
Saya termasuk yang menyayangkan sikap MA (ketua MA) yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Indonesia ini sedang dalam kondisi DARURAT korupsi, jadi wajar kalo sampe perlu tindakan-tindakan yang lebih keras.

Di Indonesia masih ada 2 lembaga yang masih jadi pengharapan saya, MK & KPK. Sedang selebihnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan MA, saya beri rapor merah. Meski belakangan KPK kok makin tumpul ya.
sebetulnya kamu tdk perlu bingung. aku juga setuju kalo moratorium remisi itu ditiadakan saja, artinya remisi itu berjalan seperti biasa, hanya pelaksanaanya harus transparansi dan jelas.. bukan seperti selama ini yg cenderung menguntungkan mereka yg punya kekuasaan atw yg punya kemampuan mempengaruhi untuk mendapatkan remisi..

intinya remisi itu adalah hak bagi semua tahanan, kecuali mereka yg mendapat hukuman mati atw seumur hidup.. dgn adanya remisi maka tahanan itu pasti akan berusaha mengikuti aturan yang diberlakukan jika mau mendapatkan remisi.. semacam discount tahanan lah..

korupsi yg disebut kejahatan yg luarbiasa harusnya hukumannya juga harus luar biasa, itu yg harusnya dilakukan perubahan.. mereka harus dihukum berat.. bukan seperti selama ini yg cuma 2 sampe 5 tahun aja gak bakal ada efek jeranya... semoga berguna..
Sudah saatnya untuk diputuskan HUKUMAN MATI bagi koruptor kelas berat .... biar koruptor itu mengajukan remisinya di akhirat saja.
lo koruptor aja dpt remisi itu sama aja para wakil rakyat d suruh korupsi aj,yg maling ayam aj bnyak yg mati,ni maling uang negara mlh bebas,sekali2 koruptor itu d kasih k rakyat aja hukumanya biar dia sama kayak maling ayam,catatan tuk hukum indonesia selagi aparatnya gak tegas dan tkut mati d situ UU gak ad fungsiny
TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Miranda Swaray Goeltom, Andi Simangunsong, menilai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menjadi biang keladi kliennya tak mendapat remisi hari raya Natal 2013. "PP ini menyebabkan hampir semua narapidana korupsi menjadi tidak mendapatkan remisi," kata Andi melalui surat elektronik kepada Tempo, Jumat, 27 Desember 2013.

Andi melanjutkan, PP ini tidak mencerminkan rasa keadilan, termasuk untuk kliennya. Menurut dia, hukuman seseorang harusnya final di saat putusan dijatuhkan. "Hukuman untuk kasus korupsi pun sudah dirancang berat dari awal oleh pembuat undang-undang," kata dia. "Pasca-putusan, perlakuan terhadap semua narapidana harus sama."

Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi khusus II atau bebas langsung kepada 11 narapidana di seluruh Indonesia pada hari raya Natal tahun 2013. Mereka dinilai berperilaku baik dan taat menjalankan peraturan selama berada di dalam lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan. Namun, remisi ternyata tak berlaku untuk narapidana korupsi.

"Terpidana kasus suap cek pelawat Miranda Goeltom tak dapat remisi," kata Akbar Hadi Prabowo, juru bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, melalui pesan pendek, Rabu, 25 Desember 2013. Ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Remisi Narapidana Kasus Terorisme, Narkoba, dan Korupsi.

Miranda ditetapkan bersalah karena menyuap anggota DPR masa jabatan 1999-2004 sebesar Rp 24 miliar, untuk memenangkan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Dia dan Nunun Nurbaetie, istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun, diduga bersama-sama melakukan tindakan kejahatan ini. Nunun divonis 2 tahun 6 bulan penjara.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Miranda Swaray Goeltom dengan hukuman 3 tahun penjara. Dia juga dikenai denda Rp 100 juta.
TEMPO.CO , Jakarta:Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wamenkumham), Denny Indrayana mengatakan, remisi bagi narapidana akan tetap diberikan, asal memenuhi syarat yang ditetapkan.

Persyaratan itu tertuang pada pasal 34A dalam PP 99 tahun 2012, dengan sebelumnya mempertimbangkan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan napi. Syarat pertama adalah berkelakuan baik dan telah menjalani masa hukuman minimal selama enam bulan.

Ada pula persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukan, telah membayar denda dan mengganti kerugian negara sesuai putusan pengadilan untuk kasus korupsi. Untuk kasus terorisme, telah mengikuti deradikalisasi yang diselenggarakan lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan  berikrar.

Serta bagi napi kasus narkotika dikenai hukuman pidana minimal lima tahun. Pemberlakuan syarat ini, Amir dan Denny secara tegas menolak bila melanggar hak asasi manusia.

PP yang ditandatangani presiden pada 12 November lahun lalu ini sekaligus untuk menegaskan komitmen pemerintah dalam menekan kasus kejahatan. “PP ini untuk mengikapi terusiknya rasa keadilan masyarakat atas putusan pengadilan yang terkesan ringan,” kata Amir.

Ia menambahkan, pemberlakuan PP 99 tahun 2012 tidak serta merta menghilangkan fungsi PP 28 tahun 2009, karena PP ini justru untuk melengkapi peraturan yang disusun pada masa Patrialis Akbar menjadi Menkumham.

reskyana syam (A'fansc)









Translate